
Penulis: Litra Warianie, S.Pd
Ilustrator: Gilang Ramadhan, S.Pd
Saya belum lama jadi guru. Baru 10 tahun. Pengalaman saya tentunya masih jauh dengan rekan-rekan guru yang lain yang sudah sangat senior. Tapi dalam 10 tahun pengabdian ini belum pernah saya temukan kasus ‘minus’ karakter siswa pada gurunya seperti yang beberapa bulan ini terjadi di luar sana. Di sini, di kota ini, saya sudah bertugas di 3 sekolah yang berbeda dan saya tidak mau menganggapnya berlebihan dengan menyebut bahwa siswa-siswa di sini semua baik. Sudah pasti ada siswa nakal, ada siswa bermasalah, ada siswa yang sulit diatur, ada siswa yang suka membangkang. Bahkan saya harus dengan berat hati mengurus surat pindahnya (dikeluarkan dengan baik-baik) karena sudah tak mau mengikuti aturan sekolah. Tapi senakal-nakalnya siswa itu, sesulit-sulitnya diatur, separah-parahnya kelakuannya di sekolahan, tak pernah ada satu pun yang berbuat ‘kurang ajar’ pada kami guru-gurunya sekaligus wali kelasnya. Ketika ditegur mereka diam, tertunduk, tidak melawan, dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya, walaupun pada akhirnya melanggar lagi dan ujung-ujungnya ‘dikembalikan kepada orangtua’. Mereka tetap hormat pada gurunya. Bahkan setelah pindah pun ada yang masih berkirim pesan dengan saya, bertanya kabar dan titip salam untuk teman-temannya.
Dulu setelah lulus SMP, adik bungsu saya berkata, dia tidak mau masuk SMA di sekolah tempat saya mengajar, saya tidak tahu apa alasannya. Tapi pernah dia bercerita kalau teman-temannya di kelas ada beberapa orang sering alpa dalam waktu yang lama tapi tidak pernah diberi sanksi. Sambil bercanda dia berucap pada teman-temannya:
“Untung bukan kakakku yang jadi wali kelas kita, kalau ga habis kalian oleh kakakku” .
Sudah tidak terhitung berapa banyak siswa bermasalah yang saya tangani dan harus dgn terpaksa dikeluarkan dari sekolahan dan pindah ke sekolahan lain, apakah saya bahagia melakukan hal itu? Tidak! Tapi kenapa saya melakukannya? Karena saya bukan malaikat. Saya tidak punya stok sabar yang melimpah. Selama ini saya selalu menegur, selalu memberi maaf, saya melakukan permakluman. Namun teguran, maaf dan maklum yang terus menerus dilakukan terhadap sebuah tindakan dan perbuatan yang salah hanya akan menghilangkan kewibawaan guru dan sekolah dan siswa akan menjadi anak yang menganggap bahwa ‘tidak apa-apa berbuat salah, toh sekolah memaafkan juga dan tidak memberi sanksi’. Maka lihatlah, pelanggaran demi pelanggaran akan terus terjadi.
Guru dan sekolah harus tetap punya wibawa, harus tetap punya harga diri, mengajar dan mendidik dengan lembut namun tetap tegas. Guru adalah orangtua kedua namun guru tidak mampu sendirian, orangtua di rumah harus sevisi dan setujuan dengan guru. Ketika anak salah, jangan dibela. Legowo menerima kenyataan bahwa anak kita memang harus dididik dan diajar lebih keras, bukan justru menghunus parang dan memaki-maki guru. Terkadang pun bisa ditemui guru kalap, hingga lepas kendali sabarnya, tak sadar tangannya reflek menyakiti. Sekali lagi guru bukan malaikat. Dan hal semacam itu sebisa mungkin dihindari.
Tak perlu dipungkiri ada banyak di luar sana guru tak beradab, namun masih jauh lebih banyak lagi guru tulus dan berdedikasi, yang dengan rela mengajar dan mendidik ratusan anak-anak walau kadang mengajari anak sendiri hampir-hampir hanya seadanya saja.
Ketika sebagian orangtua menyalahkan guru terhadap pendidikan dan pengajaran anak-anaknya, ingatlah Pak, Bu, anak-anak itu keluar dari rumahmu.Satu hal yang perlu disadari, sesungguhnya rumah dan orangtua adalah sekolah dan Guru pertama bagi anak-anaknya.
