Miskonsepsi Belajar

Belajar memiliki banyak definisi, ada yang mengatakan belajar adalah proses dari tidak tau menjadi tahu, dari tidak mengerti menjadi mengerti, atau ada juga yang mengatakan bahwa belajar adalah proses mencari ilmu dan mendapatkan pengalaman. Lalu, jika ditanya bagaimana proses belajar itu? Akan ada yang menjawab bahwa belajar itu membaca buku, bisa juga mengerjakan soal, berdiskusi atau dikatakan belajar jika berangkat ke sekolah.  Pernyataan terakhir ini menarik, belajar jika berada di sekolah, lalu jika tidak di sekolah maka siswa tidak belajar, benarkah? untuk memahami makna belajar, mungkin kita bisa memahaminya dengan mengetahui miskonsepsi tentang belajar. Beberapa miskonsepsi dalam belajar;

  1. Belajar hanya untuk ujian

Hal ini sering terjadi, bila tidak ujian maka tidak belajar atau bila ujian selesai maka belajarpun usai. Terkadang proses belajar ini hanya dilakukan dengan sistem SKS (Sistem Kebut Semalam). Banyak siswa yang belajar malam harinya, ketika besok akan ujian. Ini menyebabkan apa yang dipelajari menjadi tidak bermakna dan berbekas. Hanya sekedar ingatan sementara selama menjawab ujian, setelah ujian terlewatkan apa yang dipelajaripun dilupakan. Padahal, pada faktanya yang diajarkan oleh para guru ditingkat dasar akan digunakan kembali konsepnya di tingkat atas. Misal jika di kelas X (sepuluh) siswa belajar materi konsep dasar Trigonometri, konsep dasar trigonometri ini nantinya akan kembali digunakan di kelas XI (Sebelas) pada materi Persamaan Trigonometri. Jika siswa lupa dengan konsep dasar trigonometri di kelas X, maka dapat dipastikan guru matematika di kelas XI menjadi ambyar. Ambyarnya  kenapa? Ya, guru matematika kelas XI harus mengulang kembali konsepnya, dan materi belajarpun tidak bisa berlanjut ke persamaan trigonometri. Maka penting, belajar bukan sekedar untuk ujian.

  1. Belajar hanya hafalan dan penggunaan rumus

Jika ini terjadi, maka siswa hanya hafal rumus dan menggunakan rumus saja. Tidak heran akhirnya siswa hanya terampil dalam mengerjakan soal ujian, tetapi tidak terampil dalam menyelesaikan masalah kehidupan dengan menggunakan apa yang telah dipelajari. Soal-soal yang diberikan hanya soal latihan dari penggunaan rumus, jarangnya siswa diberikan soal yang membuat menalar. Misal jika siswa diberikan soal yang mana di soal diketahui r (jari-jari) sebuah bola, lalu siswa ditanya berapakah luas permukaan bola. Soal seperti ini cukup mudah bagi siswa, siswa tinggal menggunakan rumus yang ada untuk menyelesaikan soal tersebut. Tentu akan berbeda jika diberikan soal “ Sebuah Pabrik, memproduksi 1000 buah bola setiap harinya dengan diameter bola sepanjang 15 cm. Persediaan bahan plastik pembuat bola untuk bulan Agustus adalah 10 gulungan yang mana 1 gulungan plastik 500 m2. Menurut kalian, apakah persediaan itu mencukupi untuk produksi bola setiap harinya?”. Dengan soal seperti ini, siswa akan menganalisis dan menalar bagaimana cara penyelesaiannya. Maka, belajar tidak cukup hanya sekedar hafalan atau penggunaan rumus semata.

  1. Guru pengendali belajar

Guru memiliki wewenang sepenuhnya dalam menentukan startegi, aktivitas dan asesmen belajarnya. Guru menjadi subjek, dan murid menjadi objek. Ini membuat belajar menjadi milik guru, sebab segala hal dalam proses belajar dikendalikan oleh guru. Pada proses belajar ini, siswa hanya menerima apa yang diperintahkan guru, sehingga seringnya siswa tidak mempunyai rasa memiliki terhadap proses belajar. Padahal, harusnya belajar adalah milik siswa itu sendiri, maka sudah seharusnya guru melibatkan siswa dalam mengatur proses belajar.

  1. Guru menganggap kebutuhan dan minat siswa sama

Guru memberikan perhatian yang sama kepada semua siswa dan menganggap siswa memiliki minat dan kebutuhan yang sama. Padahal pada faktanya, setiap siswa itu berbeda minat dan bakatnya, ada yang dengan mudah paham menerima materi matematika tapi cukup lama mencerna konsep bahasa. Ada juga kebalikkannya, mudah paham pelajaran bahasa, namun lamban dalam pelajaran matematika. Siswa itu berbeda, maka tugas guru mampu menciptakan pembelajaran yang dapat membuat siswa terpenuhi kebutuhan dan minatnya.

  1. Penilaian sepenuhnya wewenang guru

Beberapa guru terkadang menilai tugas siswa tanpa memberi tahu letak kesalahan siswa. Siswa tidak tahu perbedaan antara mendapat nilai 70 dengan nilai 80. Siswa tidak mendapat informasi  tentang apa konsep yang perlu dikuatkan atau cara belajar yang harus diperbaiki. Padahal siswa perlu belajar melakukan penilaian, agar nantinya siswa sadar mana yang benar dan mana yang salah.

Miskonsepsi belajar atau kesalahan belajar diatas bisa dihindari baik oleh guru maupun siswa agar nantinya proses belajar menjadi baik dan tujuan pembelajaran dapat tercapai. Dalam proses belajar mengajar, persepsi bahwa guru mengajar dan siswa belajar harus dihilangkan, karena kegiatan belajar mengajar (KBM) adalah proses belajar guru dan siswa. Guru belajar apakah proses pembelajarannya sudah tepat, sedangkan siswa belajar menangkap makna apa yang sedang dipelajari. Dengan demikian, terbentuknya proses belajar yang mana belajar sepanjang masa, belajar tidak hanya hafalan rumus semata, belajar yang melibatkan aktif siswa, belajar yang membuat siswa mau belajar, dan belajar yang membuat siswa tau benar dan salah. Akhirnya, selamat belajar untuk para guru dan siswa pembelajar.

 

Ditulis oleh Pujja Sari Purnama, S.Pd ( Guru Matematika SMAN 3 Palangka Raya, Kalimantan Tengah)